PERIODISASI SASTRA
Gejala Sastra Periodisasi sastra
merupakan kesatuan waktu dalam perkembangan sastra yang dikuasai oleh suatu
sistem norma yang tertentu atau kesatuan waktu yang memiliki sifat dan cara
pengucapan yang khas yang berbeda dengan masa sebelumnya.
Periode merupakan kurun waktu
yang ditentukan oleh kesamaan ciri khas bagian terbesar karya sastra yang
diciptakan sezaman, misalnya periode 20-an menghasilkan novel Sitti Nurbaya
(Marah Rusli) dan novel Salah Asuhan (Abdul Muis), periode 30-an menghasilkan
novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana) dan Puspa Mega (Sanusi Pane),
periode tahun 40-an menghasilkan novel Atheis (Achdiat K. Mihardja) dan
kumpulan puisi Deru Campur Debu (Chairil Anwar), dan periode tahun 50-an
menghasilkan kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (W.S. Rendra) dan
kumpulan puisi Priangan Si Jelita (Ramadhan K.H.).
Periodisasi merupakan pembabakan
sejarah perkembangan kesusastraan menurut kriteria yang ditentukan oleh sudut
pandang peneliti. Kriteria atau dasar penggolongan periodisasi itu
bermacam-macam, misalnya berdasarkan masa penerbitan karya sastra, pertimbangan
intrinsik karya sastra, pertimbangan ekstrinsik karya sastra, dan berdasarkan
pada perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi zaman.
Pakar sastra yang telah membuat
periodisasi sejarah sastra Indonesia, antara lain, adalah H.B. Jassin, Buyung
Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, Zuber Usman, dan
Rachmat Djoko Pradopo. Pada umumnya periodisasi mereka menunjukkan persamaan
dalam garis besarnya. Akan tetapi, ada perbedaan kecil mengenai batas waktu
setiap periode dan penekanan ciri-ciri yang ada setiap zaman.
Periodisasi sastra menurut H.B
Jassin adalah Sejarah Melayu Lama Sastra Indonesia Modern Angkatan 20 Angkatan
33 atau Pujangga Baru Angkatan 45 Angkatan 66 Periodisasi sastra menurut Buyung
Saleh adalah Sebelum tahun 20-an Antara tahun 20-an hingga tahun 1933 Tahun
1933 hinga Mei 1942 Mei 1942 hingga kini (1956) Periodisasi model Buyung Saleh
ini dibuat tahun 1956 dalam tulisannya "Perkembangan Kesusastraan
Indonesia" (Almanak Seni 1957. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan).
Ciri-ciri periode yang dibuat Buyung lebih menekankan segi sosialnya.
Periodisasi sastra menurut Nugroho Notosusanto mengutip pada tulisannya
berjudul "Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia", Basis No.7
Th.XII, April 1963, halaman 199—210 dikemukakan periodesasi sebagai berikut Sastra
Melayu Lama Sastra Indonesia Modern Masa Kebangkitan (1920—1945) Periode '20
Periode '30 Periode '42 Masa Perkembangan (1945—sampai sekarang) Periode '45
Periode '50 Model periodisasi yang dibuat Nugroho Notosusanto ini mendasarkan
model yang dibuat H.B. Jassin dan Buyung Saleh.
Dalam buku yang ditulis Bakri
Siregar berjudul Sejarah Sastra Indonesia Modern I (1964) dinyatakan bahwa
periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut Periode pertama sejak masa abad
ke-20 sampai 1942 Periode kedua sejak 1942 sampai 1945 Peridode ketiga sejak
1945, masa revolusi bergolak sampai masa surutnya revolusi, 1950 Periode
keempat dari 1950 hingga sekarang (1964) Bakri Siregar tidak mengemukakan
ciri-ciri intrinsik karya sastra pada setiap periode yang dibuat itu.
Dalam buku yang ditulis Ajip
Rosidi berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969) dinyatakan bahwa
periodisasi sastra Indonesia sebagai berikut Masa Kelahiran dan Masa Penjadian
(1900—1945) Periode awal hingga 1933; Periode 1933—1942; dan Periode 1942—1945.
Masa Perkembangan (1945 hingga sekarang) Periode 1945—1953; Periode 1953—1961;
dan Periode 1961 sampai sekarang (1969) Ajip Rosidi membedakan ciri-ciri
intrinsik tiap-tiap periode berdasarkan perbedaan norma-norma umum dalam sastra
sebagai pengaruh situasi tiap-tiap zaman.
Dalam buku yang ditulis Zuber
Usman berjudul Kesusastraan Baru Indonesia (1956) dinyatakan periodisasi sastra
Indonesia sebagai berikut Zaman Balai Pustaka (1908) Zaman Pujangga Baru (1933)
Zaman Jepang (1942) Zaman Angkatan 45 (1945) Zuber Usman menggunakan kriteria
ekstrinsik dalam membuat periodisasinya karena nama Balai Pustaka, Pujangga
Baru, Jepang, dan Angkatan 45 adalah nama-nama di luar sastra.
Nama-nama badan penerbit Balai
Pustaka, gerakan kebudayaan atau nama majalah kebudayaan Pujangga Baru,
penjajahan Jepang, dan generasi pejuang kemerdekaan Angkatan 45 dianggap Zuber
Usman telah mempengaruhi perkembangan karya sastra. Dalam tulisan Rachmat Djoko
Pradopo di harian Berita Buana berjudul "Masalah Angkatan dan Penulisan
Sejarah Sastra Indonesia" (tanggal 2, 9, 16, 23, 30 September dan 7
Oktober 1986) dinyatakan "gambaran sesungguhnya periode-periode sejarah
sastra Indonesia tertumpang tindih" sebagai berikut Periode Balai Pustaka:
1920—1940 Periode Pujangga Baru: 1930—1945 Periode Angkatan 45: 1940—1955
Periode Angkatan 1950: 1950—1970 Periode Angkatan 1970: 1970—sekarang (1986)
Rachmat Djoko Pradopo memberikan ciri-ciri tiap-tiap periode berdasarkan
kriteria instrinsik.
Istilah yang digunakan Pradopo
untuk menandai periode itu adalah
(a) ciri-ciri struktur estetik, dan
(b) cirri-ciri ekstra estetik. Menurut Prof. Drs. Sarwadi
(1994), periodisasi merupakan masalah yang banyak menarik perhatian orang,
tidak hanya para penelaah sastra saja, tetapi juga para sastrawan.
Menurutnya, masalah periodisasi
itu tidak begitu penting buat para sastrawan. Ada beberapa pengarang yang tidak
mau dimasukkan ke dalam salah satu angkatan karena dipandang akan membatasi dan
mempersempit kebebasan daya kreativitasnya. Walaupun demikian periodisasi
sejarah sastra Indonesia Modern itu perlu, terutama bagi para penelaah sastra
dan bagi dunia pendidikan dan pengajaran. Dengan periodisasi itu kita akan
dapat dengan mudah mengetahui tahap-tahap perkembangan sastra Indonesia dengan
corak dan aliran yang mungkin ada pada tiap tahap perkembangan itu.
Berdasarkan dari periodisasi
tersebut, sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara periodisasi yang
satu dan yang lain. Kesemuanya memulai perkembangan sastra Indonesia Modern
sejak tahun 20-an. Kesemuanya menempatkan tahun '30, tahun '45 dan tahun '66
sebagai tonggak-tonggak penting dalam perkembangan sastra. Perbedaan hanya
berkisar pada masalah istilah dan masalah peranan tahun 1942 dan tahun 1950 di
dalam perkembangan Sastra Indonesia.
PERIODISASI NOVEL
Dari sekian
banyak bentuk sastra seperti esai, puisi, novel, cerpen (cerita pendek), drama,
bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca.
Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan juga berisi karya-karya
novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk
sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada
masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
karya serius dan karya hiburan.
Pendapat
demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang
mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel
serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan
dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut
lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti
menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya.
Ciri-ciri
Novel
1. Ciri-ciri novel secara umum
·
Jumlah katanya lebih
dari 35.000 kata.
·
Terdiri dari
setidaknya 100 halaman.
·
Waktu untuk membaca
novel setidaknya 2 jam atau 120 menit.
·
Ceritanya lebih dari
satu impresi, efek, dan emosi.
·
Alur ceritanya cukup
kompleks.
·
Seleksi ceritanya
luas.
·
Ceritanya panjang,
tapi banyak kalimat yang diulang-ulang.
·
Ditulis dengan narasi
kemudian didukung dengan deskripsi untuk menggambarkan suasanya yang ada di
dalamnya.
2. Ciri-ciri novel terjemahan
·
Menonjolkan watak dan
perilaku tokoh berdasarkan latar belakang sosial budaya asing karya novel
tersebut diciptakan.
·
Nama-nama tokohnya
tidak begitu familier.
·
Latar tempatnya tidak
berada di Indonesia.
·
Bahasanya tidak
mendayu-dayu.
3. Ciri-ciri novel angkatan 20 dan
30-an
·
Bertema masalah adat
dan kawin paksa.
·
Umumnya berisi
kritikan terhadap adat lama.
·
Tokoh yang diceritakan
dari muda hingga meninggal dunia.
·
Bahasanya kaku dan
statis.
·
Bahasanya sangat
santun.
·
Konflik yang dialami
para tokoh kebanyakan disebabkan perselisihan dalam memilih nilai kehidupan
(barat dan timur).
·
Menggunakan kata-kata
yang berlebihan.
PERIODISASI
RESENSI
Pengertian
resensi Menurut H. Dalman dalam Keterampilan Menulis (2016), resensi adalah
tulisan ilmiah yang membahas isi sebuah buku, termasuk kelemahan dan
keunggulannya untuk diberitahukan kepada pembaca. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), resensi adalah pertimbangan atau pembicaraan tentang buku;
ulasan buku. Dalam perkembangannya, resensi tidak hanya terbatas pada buku atau
karya pustaka semata. Dewasa ini, resensi juga dapat dibuat untuk mengulas
karya di bidang film atau musik.
a. Tujuan
resensi
Tujuan
penulisan resensi antara lain, yaitu: Memberi pemahaman komprehensif mengenai
suatu karya berdasarkan sudut pandang penulis resensi. Mengajak pembaca
berpikir, merenung, dan mendiskusikan lebih jauh substansi dalam karya yang
diulas. Memberi pertimbangan pada pembaca mengenai kelebihan dan kelemahan
buku. Memberi informasi detail sebuah karya, yaitu nama pengarang, tahun
terbit, latar belakang pengarang, proses pengkaryaan, atau hubungan dengan
karya lain yang sejenis.
b. Jenis
resensi
Berdasarkan isi
atau sajiannya, resensi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: Resensi informatif
Ulasan yang berisi informasi suatu karya. Biasanya hanya berisi ringkasan atau
rangkuman mengenai substansi suatu karya. Resensi evaluatif Ulasan yang berisi
penilaian tentang suatu karya. Biasanya ringkasan atau rangkuman hanya sekilas,
selebihnya penulis memaparkan penilaian mengenai kelemahan dan kelebihan karya
tersebut. Resensi invormatif-evaluatif Ulasan yang merupakan perpaduan antara
ringkasan karya dan penilaian baik buruknya. Selain memberikan informasi
mengenai substansi suatu karya, resensi jenis ini disertai dengan evaluasi
subyektif dari penulis.
c. Struktur
resensi
Agar lebih
memahami mengenai resensi, perhatikan struktur resensi buku berikut. Judul
resensi: judul dibuat dengan menggambarkan isi resensi secara singkat. Pastikan
judul menarik dan sesuai dengan isi resensi. Data buku: memberi informasi
detail dari buku yang akan diulas. Pendahuluan: memperkenalkan pengarang,
proses pengkaryaannya, tema buku. Tubuh dan pernyataan resensi: berisi sinopsis
disertai kutipan paling berkesan, sebutkan kelemahan dan kelebihan buku,
rumusan kerangka buku, tinjauan bahasa atau kesalahan cetak. Penutup: beri
kesimpulan dan penjelasan layak atau tidaknya buku tersebut dibaca dengan
alasan yang logis.